Proses menuju pernikahan bagi
setiap orang memiliki cerita tersendiri. Ada yang simpel, ada yang berliku, ada yang mudah, ada yang susah, ada yang biasa
saja, ada yang luar biasa, ada yang romantis dan ada yang dramatis.
Adalah perjalanan panjang untuk menemukan belahan hatiku ini. Padahal kami
dulu adalah teman sekelas, jauh di jaman dulu sewaktu kami masih berseragam
putih abu-abu. Selepas SMA, masing-masing kami melalang buana (meski masih di
seputaran Jawa sih), menjalani kehidupan masing-masing tanpa pernah berkirim
kabar. Komunikasi antar teman pada saat itu masih sangat terbatas, belum ada
HP, apalagi FB atau twitter.
Reuni menghubungkan kami kembali setelah 10 tahun terpisah. Itupun ia tak datang ke acara reuni.
Namun pada saat itu, hampir semua orang sudah memiliki HP, memiliki akun FB dan
beberapa memiliki twitter. Seorang teman
menghubunginya, dan darinya aku memperoleh kontaknya. Awalnya tidak pernah
berniat/berpikir bahwa ia akan menjadi “sigare nyawa” (belahan hati). Motivasiku saat itu
hanya ingin menyambung pertemanan yang lama tak terhubung. Namun siapa yang
bisa menolak takdir. Seiring waktu, kami menjadi dekat, dan semakin dekat.
Proses menikah bukanlah proses yang bisa terbilang
indah atau romantis. Tidak ada bunga mawar, tidak ada lamaran dengan
berlutut, tidak ada lilin redup dan makan malam romantis. Semua itu tidak ada.
Yang ada adalah pergulatan batin, pergulatan pikiran, pergulatan emosi, tangis dan airmata bahkan konflik
hingga akhirnya kami menikah. Membutuhkan diskusi panjang baik dengannya,
dengan orangtua, saudara, dan sahabat
dalam proses menuju pernikahan. Ketika pada akhirnya menikah, hanya satu
keyakinanku diatas semua keraguanku, “dia orang baik, sekarang maupun di masa
lalu sepanjang ingatanku, maka akupun berharap kelak ia akan menjadi suami dan
ayah yang baik bagi anak-anakku kelak” .
Kupilih engkau karena itu dan
karena engkaupun memilihku.
Bukan cita-citaku menikah di usia yang
matang. Sejak dulu aku berharap bisa menikah di usia
muda. Berbagai proses perjalananku
dengan beberapa lelaki tidak menemukan kata kesepakatan. Bukan dariku, tapi
dari diri mereka. Dalam tradisi ketimuran memang perempuan hanya bisa memilih
dari mereka yang memilihnya. Meski tak menutup kemungkinan perempuan mengajukan
pilihan, namun itu masih sangat jarang dan hanya sedikit yang memiliki keberanian.
Pihak ke-tiga bisa menjadi mediator atau penghubung. Bahasa gaulnya adalah
menjadi makcomblang. Nah, semua lelaki yang berhubungan denganku sebelumnya
adalah hasil pengajuan makcomblang, dan karena aku lelah dan kadang terluka
hati mengalami kegagalan, maka aku bertekad memilih sendiri pasangan hidupku. Bila terlalu tabu perempuan
mengajukan diri, maka bertindak sedikit agresif mendekati bukan suatu masalah.
Agresif bukan berarti merendahkan diri dan bersikap tidak anggun. Agresif
berarti bersikap proaktif dan memikat dengan kepribadian yang baik. Dan inilah
dia, suami pilihanku sendiri. Dan hari bahagia itupun pada akhirnya
terlaksana. Happy sweety wedding. 12-11-2012
* Judul ini aku pilih, sama dengan
salah satu kalimat yang terdapat dalam salah satu novel dari NH.Dini (judul novelnya aku
lupa).