Anak dengan autisme adalah anak yang
mengalami gangguan neurologikal yang berpengaruh pada fungsi otak. Tiga area
dasar simptom yang merupakan karakteristik dari anak dengan autisme yakni
kerusakan pada hubungan sosial, komunikasi sosial dan imajinasi (Secile-Kira,
2004., Wing dalam Happé, 1994). Anak dengan autisme juga mengalami gangguan
sensoris, gangguan perilaku, dan gangguan emosi, serta keanehan dalam pola
perilaku bermainnya (Widihastuti, 2007).
Autisme
termasuk Gangguan Pervasif
Autis berasal dari kata ”auto” yang berarti
sendiri. Anak dengan autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri (Handojo,
2003). Autisme di dalam DSM-IV-TR ditempatkan di bawah kategori gangguan
perkembangan pervasif. Kata ”pervasif” menyatakan bahwa seseorang menderita
kerusakan di dalam, meliputi keseluruhan dirinya (Peeters, 2009). Menurut
Widihastuti (2007), autisme di golongkan sebagai gangguan pervasif karena
banyak segi perkembangan psikologi dasar anak yang terganggu berat secara
bersamaan seperti fungsi kognitif, emosi, dan psikomotorik anak. Gangguan
perkembangan pervasif dicirikan oleh adanya kerusakan berat di beberapa area
perkembangan seperti ketrampilan interaksi sosial timbal balik, ketrampilan
komunikasi, atau hadirnya perilaku, minat dan aktivitas stereotip atau gerakan
berulang-ulang yang tidak bertujuan (DSM-IV-TR). Beberapa kelompok gangguan
lain yang termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif antara lain gangguan
Rett, gangguan disintegrasi anak, gangguan asperger, gangguan perkembangan
pervasif yang tidak ditentukan.
Berbagai istilah autisme
Berbagai istilah autisme
Konsistensi istilah autisme
Ginanjar
(2007) melakukan analisis teks autisme dan menemukan bahwa pandangan mengenai autisme sebagai
abnormalitas ditolak keras oleh para individu yang digolongkan sebagai
”gangguan” spektrum autisme. Mereka merasa sangat tidak nyaman bila dipandang
sebagai individu yang tidak normal serta hanya dinilai berdasarkan defisit yang
dimiliki. Mereka juga tidak menginginkan diri mereka diubah menjadi individu
normal. Beberapa otobiografi yang ditulis oleh individu gangguan spektrum
autisme menggambarkan kesulitan yang mereka alami akibat lingkungan yang lebih
memfokuskan pada defisit dan ‘keanehan’ yang mereka miliki. Mereka berpendapat
bahwa autisme seharusnya dipandang sebagai perbedaan, bukan abnormalitas. Sudut
pandang ini membuat autisme dapat dipahami dengan cara yang lebih positif. Mereka juga lebih suka menggunakan istilah ‘autistic
people’ (orang autistik) dan bukan ‘people with autism’ (orang
dengan autisme) untuk menunjukkan bahwa autisme bukan sesuatu yang hanya
melekat pada mereka, tetapi merupakan kondisi yang mempengaruhi keseluruhan
kepribadian individu dan penghayatannya terhadap dunia.
Kondisi
yang berhubungan dengan autisme
Autisme berhubungan dengan beberapa kondisi
seperti retardasi mental, kondisi medis, dan simptom neurologis. Banyak kasus
autisme berhubungan dengan retardasi mental yang terentang dari ringan hingga
berat (DSM-IV-TR). Meskipun demikian, anak-anak
dengan autisme juga ada yang memiliki level kemampuan intelektual rata-rata
(Mash & Wolfe, 2010). Anak-anak dengan autisme juga kemungkinan memiliki
abnormalitas perkembangan ketrampilan kognitif. Gambaran ketrampilan kognitif
anak dengan autisme seringkali ganjil, terlepas dari tingkat inteligensi umum,
dengan tipe ketrampilan verbal yang lebih lemah dari ketrampilan nonverbal
(DSM-IV-TR). Aspek medis autisme meliputi evaluasi medis yang terdiri dari uji
fisik dan neurologis, dan tanda atau simptom yang berhubungan dengan
autisme. Uji fisik menunjukkan lingkar kepala pada anak dengan autisme lebih
besar dibandingkan dengan yang ditemukan pada anak-anak normal. Hal yang sama
terjadi pada berat otak. Uji neurologis menunjukkan fungsi sensorimotor pada
umumnya terganggu pada anak dengan autisme dan sebagian besar parah dengan
fungsi kognitif yang rendah. Tanda atau simptom yang berhubungan dengan autisme
umumnya meliputi faktor perinatal, kehilangan pendengaran, terjadi masalah
dalam makan dan pencernaan, abnormalitas imunitas, dan gangguan tidur (Filipek,
2005). Berbagai simptom neurologis nonspesifik juga tercatat seperti reflek
primitif, perkembangan yang lebih lambat pada anak dengan autisme. Kejang bisa
berkembang (terutama pada remaja autis) di dalam 25% kasus (DSM-IV-TR).
Prevalensi autisme
Di Indonesia,
sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai prevalensi anak autis
(Handojo, 2003), sehingga belum ada data yang akurat mengenai jumlah individu
autistik di Indonesia. Meskipun demikian, pada tahun 2000 yang lalu, Ika
Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia.
Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat (“Seberapa sering
autisme terjadi?,” 2011). Jumlah ini terus meningkat pada tahun-tahun
berikutnya. Pada tahun 2004, lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan
bahwa jumlah anak dengan ciri-ciri autistik atau GSA (Gangguan Spektrum
Autistik) di Indonesia mencapai 475.000 orang (Kompas, 20 Juli 2005 dalam
Ginanjar 2007).
Dugaan penyebab meningkatnya prevalensi autisme
Terjadinya
peningkatan prevalensi autisme kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai autisme dan kemudahan
akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat sehingga kejadian autisme lebih cepat
teridentifikasi. Kedua, adanya perubahan diagnosis karena adanya perubahan
definisi gangguan. Penerapan kriteria diagnosis yang lebih luas mungkin
mempengaruhi peningkatan prevalensi autis pada seorang anak. Penurunan usia
diagnosis juga merupakan kemungkinan terjadinya peningkatan prevalensi autis
ini. Ketiga, diusulkannya faktor lingkungan sebagai penyebab autisme mendukung
perkiraan peningkatan prevalensi autisme ini. Faktor lingkungan ini meliputi
makanan tertentu, penyakit menular, pestisida, vaksin MMR, vaksin yang
mengandung pengawet thiomersal, virus, racun dari logam-logam berat
(arsenic, antimoni, air raksa, timbal). Keempat, meningkatnya
penelitian-penelitian mengenai autisme sehingga laporan terjadinya autisme
semakin meningkat (“Angka kejadian autisme”, 2012).
Prevalensi autisme lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan
Prevalensi
gangguan autisme empat kali lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan dan secara khas terlihat selama tiga tahun pertama dari
kehidupan (Secile-Kira, 2004). Simon dan Baron-Cohen (dalam Mash & Wolfe,
2010) mengajukan teori otak ekstrim anak laki-laki autisme. Mereka yang autisme
diduga berada di kemampuan yang ekstrim tinggi dari kontinum kemampuan kognitif
terkait dengan sistematika (memahami dunia benda mati), dan pada akhir ekstrem
rendah dari kemampuan yang terkait dengan berempati (memahami dunia sosial
kita). Kedua kemampuan tersebut dimiliki baik oleh pria maupun wanita, tetapi
laki-laki dianggap menunjukkan lebih sistematis dan perempuan menunjukkan lebih
empati. Frekuensi minat dan perilaku yang terjadi antara individu dengan
autisme (misalnya, perhatian terhadap detail, mengumpulkan, minat dalam
matematika, pengetahuan ilmiah dan teknis) dianggap mencerminkan ekstrim pada
dimensi sistematika dari otak laki-laki, dan relatif tidak ada empati
(misalnya, membaca pikiran, empati, kontak mata, komunikasi). Gangguan spektum
autisme juga dapat terjadi pada semua lapisan masyarakat, etnik atau ras,
tingkat sosio ekonomi serta geografi (Widihastuti, 2007).
Level inteligensi anak dengan autisme
Anak autis
memiliki inteligensi yang bervariasi, dari mental retardasi berat hingga
kemampuan superior. Anak-anak autis yang memiliki kemampuan superior sering
menarik perhatian media massa, namun dalam kenyataannya sekitar 70% anak
autis mengalami kerusakan intelektual. Sekitar 40% memiliki kerusakan yang
berat hingga dan luas dengan IQ kurang dari 50, 30% memiliki kerusakan ringan
hingga sedang dengan IQ antara 50 dan 70. Tiga puluh persen sisanya memiliki
inteligensi rata-rata atau bahkan lebih (Mash & Wolfe, 2010).
Kriteria Diagnostik Autisme
Menurut
DSM-IV-TR, kriteria diagnostik dari autisme yakni:
A.
Sebanyak enam (atau lebih) item dari (1). (2).
dan (3). dengan setidaknya dua dari (1). dan satu masing-masing dari (2) dan
(3):
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, yang
termanifestasi oleh sedikitnya dua dari hal-hal berikut:
a) Ditandai penurunan dalam penggunaan berbagai perilaku
nonverbal seperti pandangan mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak tubuh
untuk mengatur interaksi sosial.
b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya
yang sesuai dengan tingkat perkembangan.
c) Kurangnya spontanitas mencari orang lain untuk berbagi
kesenangan, ketertarikan, atau prestasi (misalnya, dengan kurangnya
menunjukkan, membawa atau menunjuk keluar obyek yang menarik).
d)
Kurangnya timbal balik sosial atau emosional
(2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi yang
termanifestasi oleh setidaknya satu dari hal-hal berikut:
a) Keterlambatan, atau total kehilangan perkembangan
bahasa lisan (tidak disertai oleh usaha untuk mengkompensasikan melalui
alternatif komunikasi lain seperti isyarat atau pantomim).
b)
Pada individu dengan kemampuan berbicara yang
cukup, ditandai dengan hilangnya kemampuan untuk memulai atau mempertahankan
percakapan dengan orang lain.
c) Penggunaan bahasa atau bahasa idiosinkratik yang stereotip dan repetitif.
d) Kurangnya variasi, bermain spontan membuat-percaya atau bermain meniru sosial yang sesuai dengan tingkat
perkembangan.
(3) Perilaku. minat, dan
kegiatan yang dibatasi pola repetitif dan stereotip, seperti yang dituturkan
yang termanifestasi oleh satu dari berikut:
a) Mempertahankan keasyikan satu atau lebih minat yang sangat khas dan
berlebih-lebihan dengan fokus dan intensitas yang tidak normal
b) Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
c) Ada gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang seperti memutar-mutarkan
tangan atau jari-jemari, atau menggerakkan keseluruhan tubuh.
d) Seringkali terpukau pada bagian-bagian atau benda.
B. Keterlambatan atau fungsi
abnormal pada setidaknya satu dari bidang-bidang berikut, dengan onset sebelum
usia 3 tahun: (I) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi
sosial, atau (3) bermain simbolis atau imajinatif.
C. Gangguan itu tidak tercatat
sebagai Gangguan Rett atau Gangguan Disintegrasi masa kanak-kanak.
Beda Autisme dengan
Gangguan Rett dan Gangguan Disintegrasi Masa Kanak-Kanak
Gangguan Rett dicirikan dengan menurunnya berbagai perkembangan
spesifik yang mengikuti periode fungsi normal setelah kelahiran. Anak memiliki
periode prenatal dan perinatal yang normal dengan perkembangan psikomotor yang
normaln selama lima bulan pertama kehidupan. Lingkar kepala pada saat lahir
juga normal. Antar usia lima hingga 48 bulan terjadi perlambatan pertumbuhan
kepala. Anak juga kehilangan keterampilan tangan bertujuan yang sebelumnya
telah dicapai antara usia lima dan 30 bulan dengan diikuti perkembangan gerakan
tangan stereotipik (misalnya, memuntirkan tangan atau mencuci tangan).
Ketertarikan di dalam lingkungan sosial berkurang pada tahun pertama setelah
onset dari gangguan, meskipun interaksi sosial mungkin akan berkembang di
tahun-tahun selanjutnya. Perkembangan yang bermasalah pada koordinasi gaya atau
gerakan berjalan. Terjadinya kerusakan berat pada perkembangan bahasa ekpresif
dan reseptif, dengan retardasi psikomotor berat.
Gangguan Disintegrasi Masa Kanak-Kanak ditandai dengan penurunan fungsi
berbagai area yang mengikuti periode setidaknya dua tahun dari perkembangan
normal sebelumnya. Perkembangan normal ini direfleksikan oleh usia yang sesuai
dengan kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal, hubungan sosial, pola
bermain, dan perilaku adaptif. Setelah dua tahun pertama dari kehidupan
(sebelum usia 10 tahun), anak secara signifikan kehilangan ketrampilan yang
telah diperoleh sebelumnya sedikitnya dua dari bidang berikut: bahasa ekspresif
atau reseptif, keterampilan sosial atau perilaku adaptif, pengendalian usus
atau kandung kemih, bermain, keterampilan motorik. Biasanya, ketrampilan yang
telah diperoleh hilang dalam semua bidang. Individu dengan gangguan ini
memperlihatkan kemunduran kemampuan sosial dan komunikasi dan ciri-ciri
perilakunya secara umumn terlihat di dalam ciri-ciri autisme. Terdapat kerusakan kualitatif pada interaksi sosial dan komunikasi, dan
pola perilaku, minat, dan aktifitas yang restriktif, repetitif, dan stereotip.
Tipe Autisme
Ada dua tipe
dasar autisme (McCandless, 2003):
a. Autisme sejak lahir (autisme klasik atau sindrom Kanner): Insiden autisme sejak lahir jarang terjadi, hanya satu
atau dua dari 10.000 kelahiran.
b. Autisme regresif: biasanya muncul antara usia 12 sampai 24 bulan setelah
periode perkembangan dan tingkah laku normal.
Penyebab Autisme
Tidak ada yang
dapat mengatakan dengan pasti apa penyebab dari autisme. Meskipun demikian, ada
persetujuan pendapat yang berkembang bahwa kebanyakan kasus-kasus autisme
muncul dari kombinasi genetik dan lingkungan (Secile-Kira, 2004., McCandless,
2003). Beberapa faktor yang diduga merupakan penyebab autisme:
a. Genetik. Bagian yang disebut ”hot spots”
ditemukan di kromosom, terutama pada kromosom 7q. Jika salah satu dari kembar
identik adalah autis, ada 60-90% kemungkinan saudara kembarnya juga
mengalaminya. Meskipun demikian, kembar identik dengan genetik yang sama dan
berada pada lingkungan yang sama dapat berbeda ekspresi gangguan sindrom
autisme.
b. Perbedaan pada aktivitas otak, meski tidak semua menyetujui, akan tetapi
sebagian besar ahli yang meneliti autisme sepakat bahwa beberapa sirkuit otak
pada orang autis berbeda dengan orang yang normal.
c. Serotonin, sebuah neurotransmitter
penting untuk fungsi otak yang normal dan perilaku, ditemukan meningkat di
subkelompok orang-orang dengan autis.
d. Autoimunitas atau alergi: dari laporan orangtua maupun profesional medis
bahwa pada sebagian besar tubuh anak-anak dengan gengguan sindrom autisme
terlihat memiliki masalah pada biokimia dan imunitas. Beberapa kemungkinan
penyebabnya adalah racun mercury,
masalah jamur, kasein dan
sensitivitas gluten, dan infeksi
kuman virus.
e. Perbedaan tingkat racun lingkungan seperti timah, timbal, antimony, dan alumunium yang ditemukan
di rambut dan darah sampel anak-anak autis dibandingkan pada anak-anak yang
tidak autis. Hal ini membawa kepada hipotesis bahwa beberapa anak dengan
gangguan sindrom autisme tidak dapat mengeluarkan racun, dan kemudian
berakumulasi di dalam tubuhnya.
f. Zat kimia beracun seperti polyclorinated
biphenyls (PCBs) dan pestisida organofosfat
mungkin saja mengkontaminasi air minum, udara dan makanan dan tidak sengaja
terminum, terhirup maupun terserap oleh para calon ibu dan menyebabkan
kelahiran bayi dengan cacat seumur hidup.
g. Vaksinasi: pada anak-anak balita yang rentan, vaksinasi dengan virus hidup
dapat turut menyumbang terjadinya kemunduran ke arah autisme.
h. Patologi saluran cerna: sejumlah besar dari anak-anak GSA memiliki diare
atau sembelit, sakit pada bagian perut, gas dan kembung dan seringkali
pembuangan air besar yang berbau busuk dan berwarna lebih muda, serta kasus
kesulitan tidur pada anak penyandang autisme yang disebabkan ketidaknyaman pada
saluran usus.
i. Sudut pandang psikologis. Pada pertengahan sampai akhir tahun 1940 Bruno
Bettelheim, seorang psikoterapis, mengajukan teori ”Refrigerator Mother”. Menurut Bruno Bettelheim, sumber
autisme pada anak adalah pengasuhan ibu yang dingin atau tidak hangat sehingga
menekan anak menjadi terisolasi secara mental. Teori diterima selama dua
dekade, dan menyebabkan stres berat pada para ibu. Teori ini kemudian dibantah
karena ternyata banyak orangtua yang hangat dan penyayang tetapi tetap
memiliki anak autis.
Evaluasi Klinis dan Kriteria Diagnostik Autisme
Beberapa cara
untuk mendeteksi autisme antara lain dengan melakukan observasi dan wawancara
dengan orangtua, terutama tentang riwayat perkembangan anak. Selain itu ada
beberapa tes untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya autis (Widihastuti,
2007).
a. Tes medis
Tes medis
dilakukan dengan tujuan untuk mengeliminasi kemungkinan alasan lain pada
gangguan perilaku seseorang, atau untuk melihat jika ada gangguan
spesifik dan hambatan perkembangan (Secile-Kira, 2004).
1) Tes pendengaran: tes seperti audiogram
dan tympanogram dapat mendeteksi
individu jika memiliki kerusakan pendengaran.
2) Tes genetik: tes darah dapat mengetahui abnormalitas di dalam gen yang
menyebabkan gangguan perkembangan.
3) Electroencephalogram (EEG): EEG dapat mendeteksi tumor atau abnormalitas otak yang lain. EEG
juga dapat mengukur gelombang otak yang dapat memperlihatkan gangguan dari
serangan.
4) Screening metabolis: tes laboratorium darah dan urin mengukur bagaimana metabolisme makanan
anak dan pengaruhnya pada pertumbuhan dan perkembangan.
5) Magnetic resonance
imaging (MRI): dapat menggambarkan otak dengan
sangat detil.
6) Computer-assisted
axial tomography (CAT scan): digunakan untuk mendiagnosis masalah struktural di dalam
otak dengan mengambil ribuan pemotretan yang direkonstruksi dengan sangat
detil.
b. Cheklist Perilaku
Cheklist perilaku digunakan untuk menentukan apakah seseorang memiliki
sejumlah karakteristik yang didefinisikan autisme (Widihastuti, 2004). Cheklist
perilaku yang digunakan antara lain: 1) Diagnostic
Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM-IV, 2) Checklist for Autism inToddler atau CHAT, 3) Childhood Autism Rating Scale atau CARS.
Tritmen, Terapi, dan Intervensi
Beberapa pilihan tritmen, terapi dan intervensi yakni (Secile-Kira, 2004):
a. Tritmen Berbasis Ketrampilan
Merupakan program yang mengajarkan anak autis ketrampilan spesifik menggunakan
metode-metode tertentu. Beberapa diantaranya adalah: (1) ABA (Applied Behavior Analysis), (2) RPM (Rapid Prompting Method), (3) PECS (Picture Exchange Communication System),
(4) FC (Facilitated Communication),
(5) Sosial Skills Training, (6) RDI (Relationship Development Intervention)
b. Intervensi Berorientasi Fisiologis: Terapi Untuk Permasalahan Sensori
Kategori tritmen ini meliputi terapi yang ditujukan untuk masalah sensoris seperti diet dan
intervensi biomedis. Contoh jenis terapi: (1) Sensory
Integration (SI), (2) Auditory
Integration Training (AIT), (3) Irlen
Lenses.
c. Intervensi Berorientasi Fisiologis: Pendekatan Diet dan Biomedis
Tipe intervensi ini efektif dalam membantu orang yang metabolismenya tidak berfungsi baik. Contoh terapi:
(1) diet bebas gluten/bebas kasein, (2) diet anti jamur (antifungal), (3) tritmen detoxifikasi merkuri (chelation), (4) vitamin B6 dan magnesium, (5) asam lemak, (6) Ion
Sulfat, (7) enzim, (8) sekretin, (9) tritmen psikofarmakologis (pengobatan tradisional).
d. Tritmen Berdasar pada Pembentukan Hubungan Interpersonal
Tritmen ini
memfasilitasi kelekatan dan keterikatan serta rasa keterhubungan, yang
dipandang sebagai landasan untuk membangun perkembangan normal anak. Beberapa
pendekatan yang digunakan: (1) pendekatan Floor Time, (2) program Son Rise, (3)
Holding Therapy, (4) psikoanalisis.
e.
Tritmen
Kombinasi: (1) TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related
Communication Handicapped Children), (2) terapi kehidupan sehari-hari, (3)
terapi wicara, (4) terapi okupasi, (5) terapi musik, (6) tekhnologi bantu dan
program komputer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar