Ini adalah pahatan dan ukiran setiap kisah., sebentuk cerita, pelajaran, cinta dan airmata di sepanjang perjalanan kehidupan.

Minggu, 09 September 2012

Autisme

Apa sih autisme itu?
Anak dengan autisme adalah anak yang mengalami gangguan neurologikal yang berpengaruh pada fungsi otak. Tiga area dasar simptom yang merupakan karakteristik dari anak dengan autisme yakni kerusakan pada hubungan sosial, komunikasi sosial dan imajinasi (Secile-Kira, 2004., Wing dalam HappĂ©, 1994). Anak dengan autisme juga mengalami gangguan sensoris, gangguan perilaku, dan gangguan emosi, serta keanehan dalam pola perilaku bermainnya (Widihastuti, 2007). 

Autisme termasuk Gangguan Pervasif
Autis berasal dari kata ”auto” yang berarti sendiri. Anak dengan autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri (Handojo, 2003). Autisme di dalam DSM-IV-TR ditempatkan di bawah kategori gangguan perkembangan pervasif. Kata ”pervasif” menyatakan bahwa seseorang menderita kerusakan di dalam, meliputi keseluruhan dirinya (Peeters, 2009). Menurut Widihastuti (2007), autisme di golongkan sebagai gangguan pervasif karena banyak segi perkembangan psikologi dasar anak yang terganggu berat secara bersamaan seperti fungsi kognitif, emosi, dan psikomotorik anak. Gangguan perkembangan pervasif dicirikan oleh adanya kerusakan berat di beberapa area perkembangan seperti ketrampilan interaksi sosial timbal balik, ketrampilan komunikasi, atau hadirnya perilaku, minat dan aktivitas stereotip atau gerakan berulang-ulang yang tidak bertujuan (DSM-IV-TR). Beberapa kelompok gangguan lain yang termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif antara lain gangguan Rett, gangguan disintegrasi anak, gangguan asperger, gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan. 


Berbagai istilah autisme
Ada berbagai istilah yang berhubungan dengan autisme. Autisme sendiri merupakan nama gangguan yang berhubungan dengan komunikasi, sosial dan perilaku. Autis adalah anak yang mengalami autisme. Autistik adalah keadaan anak yang mengalami autisme. Berbagai buku juga menyebut istilah autisme  sebagai simptom, sindrom, maupun spektrum. Simptom adalah gejala. Anak autis memiliki beberapa simptom perilaku meliputi hiperaktif, rentang perhatian yang pendek, impulsif, agresif, perilaku menyakiti diri sendiri, temper tantrum atau mengamuk, respon aneh terhadap stimulus sensoris (tingginya ambang batas pada rasa nyeri, oversensitif terhadap suara atau sentuhan, reaksi berlebihan terhadap cahaya atau bau, terpaku pada stimulus tertentu), adanya abnormalitas pola makan dan tidur, abnormalitas mood (DSM-IV-TR). Sindrom adalah kumpulan simptom. Spektrum menunjukkan bahwa simptom, kemampuan dan karakteristik anak autis diekspresikan dengan banyak kombinasi yang berbeda dan di dalam berbagai tingkat keparahan (Mash & Wolfe, 2010). 

Konsistensi istilah autisme
Ginanjar (2007) melakukan analisis teks autisme dan menemukan bahwa pandangan mengenai autisme sebagai abnormalitas ditolak keras oleh para individu yang digolongkan sebagai ”gangguan” spektrum autisme. Mereka merasa sangat tidak nyaman bila dipandang sebagai individu yang tidak normal serta hanya dinilai berdasarkan defisit yang dimiliki. Mereka juga tidak menginginkan diri mereka diubah menjadi individu normal. Beberapa otobiografi yang ditulis oleh individu gangguan spektrum autisme menggambarkan kesulitan yang mereka alami akibat lingkungan yang lebih memfokuskan pada defisit dan ‘keanehan’ yang mereka miliki. Mereka berpendapat bahwa autisme seharusnya dipandang sebagai perbedaan, bukan abnormalitas. Sudut pandang ini membuat autisme dapat dipahami dengan cara yang lebih positif. Mereka juga lebih suka menggunakan istilah ‘autistic people’ (orang autistik) dan bukan ‘people with autism’ (orang dengan autisme) untuk menunjukkan bahwa autisme bukan sesuatu yang hanya melekat pada mereka, tetapi merupakan kondisi yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian individu dan penghayatannya terhadap dunia. 

Kondisi yang berhubungan dengan autisme
Autisme berhubungan dengan beberapa kondisi seperti retardasi mental, kondisi medis, dan simptom neurologis. Banyak kasus autisme berhubungan dengan retardasi mental yang terentang dari ringan hingga berat (DSM-IV-TR). Meskipun demikian, anak-anak dengan autisme juga ada yang memiliki level kemampuan intelektual rata-rata (Mash & Wolfe, 2010). Anak-anak dengan autisme juga kemungkinan memiliki abnormalitas perkembangan ketrampilan kognitif. Gambaran ketrampilan kognitif anak dengan autisme seringkali ganjil, terlepas dari tingkat inteligensi umum, dengan tipe ketrampilan verbal yang lebih lemah dari ketrampilan nonverbal (DSM-IV-TR). Aspek medis autisme meliputi evaluasi medis yang terdiri dari uji fisik dan neurologis, dan tanda  atau simptom yang berhubungan dengan autisme. Uji fisik menunjukkan lingkar kepala pada anak dengan autisme lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan pada anak-anak normal. Hal yang sama terjadi pada berat otak. Uji neurologis menunjukkan fungsi sensorimotor pada umumnya terganggu pada anak dengan autisme dan sebagian besar parah dengan fungsi kognitif yang rendah. Tanda atau simptom yang berhubungan dengan autisme umumnya meliputi faktor perinatal, kehilangan pendengaran, terjadi masalah dalam makan dan pencernaan, abnormalitas imunitas, dan gangguan tidur (Filipek, 2005). Berbagai simptom neurologis nonspesifik juga tercatat seperti reflek primitif, perkembangan yang lebih lambat pada anak dengan autisme. Kejang bisa berkembang (terutama pada remaja autis) di dalam 25% kasus (DSM-IV-TR).

Prevalensi autisme
Di Indonesia, sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai prevalensi anak autis (Handojo, 2003), sehingga belum ada data yang akurat mengenai jumlah individu autistik di Indonesia.  Meskipun demikian, pada tahun 2000 yang lalu, Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat (“Seberapa sering autisme terjadi?,” 2011). Jumlah ini terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2004, lembaga sensus  Amerika Serikat melaporkan bahwa jumlah anak dengan ciri-ciri autistik atau GSA (Gangguan Spektrum Autistik) di Indonesia mencapai 475.000 orang (Kompas, 20 Juli 2005 dalam Ginanjar 2007).

Dugaan penyebab meningkatnya prevalensi autisme
Terjadinya peningkatan prevalensi autisme kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai autisme dan kemudahan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat sehingga kejadian autisme lebih cepat teridentifikasi. Kedua, adanya perubahan diagnosis karena adanya perubahan definisi gangguan. Penerapan kriteria diagnosis yang lebih luas mungkin mempengaruhi peningkatan prevalensi autis pada seorang anak. Penurunan usia diagnosis juga merupakan kemungkinan terjadinya peningkatan prevalensi autis ini. Ketiga, diusulkannya faktor lingkungan sebagai penyebab autisme mendukung perkiraan peningkatan prevalensi autisme ini. Faktor lingkungan ini meliputi makanan tertentu, penyakit menular, pestisida, vaksin MMR, vaksin yang mengandung pengawet thiomersal, virus, racun dari logam-logam berat  (arsenic, antimoni, air raksa, timbal). Keempat, meningkatnya penelitian-penelitian mengenai autisme sehingga laporan terjadinya autisme semakin meningkat (“Angka kejadian autisme”, 2012).

Prevalensi autisme lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan
Prevalensi gangguan autisme empat kali lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan secara khas terlihat selama tiga tahun pertama dari kehidupan (Secile-Kira, 2004). Simon dan Baron-Cohen (dalam Mash & Wolfe, 2010) mengajukan teori otak ekstrim anak laki-laki autisme. Mereka yang autisme diduga berada di kemampuan yang ekstrim tinggi dari kontinum kemampuan kognitif terkait dengan sistematika (memahami dunia benda mati), dan pada akhir ekstrem rendah dari kemampuan yang terkait dengan berempati (memahami dunia sosial kita). Kedua kemampuan tersebut dimiliki baik oleh pria maupun wanita, tetapi laki-laki dianggap menunjukkan lebih sistematis dan perempuan menunjukkan lebih empati. Frekuensi minat dan perilaku yang terjadi antara individu dengan autisme (misalnya, perhatian terhadap detail, mengumpulkan, minat dalam matematika, pengetahuan ilmiah dan teknis) dianggap mencerminkan ekstrim pada dimensi sistematika dari otak laki-laki, dan relatif tidak ada empati (misalnya, membaca pikiran, empati, kontak mata, komunikasi). Gangguan spektum autisme juga dapat terjadi pada semua lapisan masyarakat, etnik atau ras, tingkat sosio ekonomi serta geografi (Widihastuti, 2007).

Level inteligensi anak dengan autisme
Anak autis memiliki inteligensi yang bervariasi, dari mental retardasi berat hingga kemampuan superior. Anak-anak autis yang memiliki kemampuan superior sering menarik perhatian media massa, namun dalam kenyataannya  sekitar 70% anak autis mengalami kerusakan intelektual. Sekitar 40% memiliki kerusakan yang berat hingga dan luas dengan IQ kurang dari 50, 30% memiliki kerusakan ringan hingga sedang dengan IQ antara 50 dan 70. Tiga puluh persen sisanya memiliki inteligensi rata-rata atau bahkan lebih (Mash & Wolfe, 2010).

Kriteria Diagnostik Autisme
Menurut DSM-IV-TR, kriteria diagnostik dari autisme yakni: 
A.     Sebanyak enam (atau lebih) item dari (1). (2). dan (3). dengan setidaknya dua dari (1). dan satu masing-masing dari (2) dan (3):
(1)   Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi oleh sedikitnya dua dari hal-hal berikut:
a)     Ditandai penurunan dalam penggunaan berbagai perilaku nonverbal seperti pandangan mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak tubuh untuk mengatur interaksi sosial.
b)     Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangan.
c)     Kurangnya spontanitas mencari orang lain untuk berbagi kesenangan, ketertarikan, atau prestasi (misalnya, dengan kurangnya menunjukkan, membawa atau menunjuk keluar obyek yang menarik).
d)      Kurangnya timbal balik sosial atau emosional
(2)   Gangguan kualitatif dalam komunikasi yang termanifestasi oleh setidaknya satu dari hal-hal berikut:
a)         Keterlambatan, atau total kehilangan perkembangan bahasa lisan (tidak disertai oleh usaha untuk mengkompensasikan melalui alternatif komunikasi lain seperti isyarat atau pantomim).
b)      Pada individu dengan kemampuan berbicara yang cukup, ditandai dengan hilangnya kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.
c)      Penggunaan bahasa atau bahasa idiosinkratik yang stereotip dan repetitif.
d)      Kurangnya variasi, bermain spontan membuat-percaya atau bermain meniru sosial yang sesuai dengan tingkat perkembangan.
(3)   Perilaku. minat, dan kegiatan yang dibatasi pola repetitif dan stereotip, seperti yang dituturkan yang termanifestasi oleh satu dari berikut:
a)        Mempertahankan keasyikan satu atau lebih minat yang sangat khas dan berlebih-lebihan dengan fokus dan intensitas yang tidak normal
b)      Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
c)      Ada gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang seperti memutar-mutarkan tangan atau jari-jemari, atau menggerakkan keseluruhan tubuh.
d)      Seringkali terpukau pada bagian-bagian atau benda.
B.    Keterlambatan atau fungsi abnormal pada setidaknya satu dari bidang-bidang berikut, dengan onset sebelum usia 3 tahun: (I) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, atau (3) bermain simbolis atau imajinatif.
C.  Gangguan itu tidak tercatat sebagai Gangguan Rett atau Gangguan Disintegrasi masa kanak-kanak.
Beda Autisme dengan Gangguan Rett dan Gangguan Disintegrasi Masa Kanak-Kanak 
 Gangguan Rett dicirikan dengan menurunnya berbagai perkembangan spesifik yang mengikuti periode fungsi normal setelah kelahiran. Anak memiliki periode prenatal dan perinatal yang normal dengan perkembangan psikomotor yang normaln selama lima bulan pertama kehidupan. Lingkar kepala pada saat lahir juga normal. Antar usia lima hingga 48 bulan terjadi perlambatan pertumbuhan kepala. Anak juga kehilangan keterampilan tangan bertujuan yang sebelumnya telah dicapai antara usia lima dan 30 bulan dengan diikuti perkembangan gerakan tangan stereotipik (misalnya, memuntirkan tangan atau mencuci tangan). Ketertarikan di dalam lingkungan sosial berkurang pada tahun pertama setelah onset dari gangguan, meskipun interaksi sosial mungkin akan berkembang di tahun-tahun selanjutnya. Perkembangan yang bermasalah pada koordinasi gaya atau gerakan berjalan. Terjadinya kerusakan berat pada perkembangan bahasa ekpresif dan reseptif, dengan retardasi psikomotor berat.
Gangguan Disintegrasi Masa Kanak-Kanak ditandai dengan penurunan fungsi berbagai area yang mengikuti periode setidaknya dua tahun dari perkembangan normal sebelumnya. Perkembangan normal ini direfleksikan oleh usia yang sesuai dengan kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal, hubungan sosial, pola bermain, dan perilaku adaptif. Setelah dua tahun pertama dari kehidupan (sebelum usia 10 tahun), anak secara signifikan kehilangan ketrampilan yang telah diperoleh sebelumnya sedikitnya dua dari bidang berikut: bahasa ekspresif atau reseptif, keterampilan sosial atau perilaku adaptif, pengendalian usus atau kandung kemih, bermain, keterampilan motorik. Biasanya, ketrampilan yang telah diperoleh hilang dalam semua bidang. Individu dengan gangguan ini memperlihatkan kemunduran kemampuan sosial dan komunikasi dan ciri-ciri perilakunya secara umumn terlihat di dalam ciri-ciri autisme.  Terdapat kerusakan kualitatif pada interaksi sosial dan komunikasi, dan pola perilaku, minat, dan aktifitas yang restriktif, repetitif, dan stereotip.
Tipe Autisme
Ada dua tipe dasar autisme (McCandless, 2003):
a.     Autisme sejak lahir (autisme klasik atau sindrom Kanner): Insiden autisme sejak lahir jarang terjadi, hanya satu atau dua dari 10.000 kelahiran.     
b.     Autisme regresif: biasanya muncul antara usia 12 sampai 24 bulan setelah periode perkembangan dan tingkah laku normal.

Penyebab Autisme
Tidak ada yang dapat mengatakan dengan pasti apa penyebab dari autisme. Meskipun demikian, ada persetujuan pendapat yang berkembang bahwa kebanyakan kasus-kasus autisme muncul dari kombinasi genetik dan lingkungan (Secile-Kira, 2004., McCandless, 2003). Beberapa faktor yang diduga merupakan penyebab autisme:
a.    Genetik. Bagian yang disebut ”hot spots” ditemukan di kromosom, terutama pada kromosom 7q. Jika salah satu dari kembar identik adalah autis, ada 60-90% kemungkinan saudara kembarnya juga mengalaminya. Meskipun demikian, kembar identik dengan genetik yang sama dan berada pada lingkungan yang sama dapat berbeda ekspresi gangguan sindrom autisme.
b.     Perbedaan pada aktivitas otak, meski tidak semua menyetujui, akan tetapi sebagian besar ahli yang meneliti autisme sepakat bahwa beberapa sirkuit otak pada orang autis berbeda dengan orang yang normal.
c.      Serotonin, sebuah neurotransmitter penting untuk fungsi otak yang normal dan perilaku, ditemukan meningkat di subkelompok orang-orang dengan autis.
d.      Autoimunitas atau alergi: dari laporan orangtua maupun profesional medis bahwa pada sebagian besar tubuh anak-anak dengan gengguan sindrom autisme terlihat memiliki masalah pada biokimia dan imunitas. Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah racun mercury, masalah jamur, kasein dan sensitivitas gluten, dan infeksi kuman virus.
e.     Perbedaan tingkat racun lingkungan seperti timah, timbal, antimony, dan alumunium yang ditemukan di rambut dan darah sampel anak-anak autis dibandingkan pada anak-anak yang tidak autis. Hal ini membawa kepada hipotesis bahwa beberapa anak dengan gangguan sindrom autisme tidak dapat mengeluarkan racun, dan kemudian berakumulasi di dalam tubuhnya.
f.       Zat kimia beracun seperti polyclorinated biphenyls (PCBs) dan pestisida organofosfat mungkin saja mengkontaminasi air minum, udara dan makanan dan tidak sengaja terminum, terhirup maupun terserap oleh para calon ibu dan menyebabkan kelahiran bayi dengan cacat seumur hidup.
g.      Vaksinasi: pada anak-anak balita yang rentan, vaksinasi dengan virus hidup dapat turut menyumbang terjadinya kemunduran ke arah autisme.
h.      Patologi saluran cerna: sejumlah besar dari anak-anak GSA memiliki diare atau sembelit, sakit pada bagian perut, gas dan kembung dan seringkali pembuangan air besar yang berbau busuk dan berwarna lebih muda, serta kasus kesulitan tidur pada anak penyandang autisme yang disebabkan ketidaknyaman pada saluran usus.
i.         Sudut pandang psikologis. Pada pertengahan sampai akhir tahun 1940 Bruno Bettelheim, seorang psikoterapis, mengajukan teori ”Refrigerator Mother”. Menurut Bruno Bettelheim, sumber autisme pada anak adalah pengasuhan ibu yang dingin atau tidak hangat sehingga menekan anak menjadi terisolasi secara mental. Teori diterima selama dua dekade, dan menyebabkan stres berat pada para ibu. Teori ini kemudian dibantah karena ternyata banyak orangtua yang hangat  dan penyayang tetapi tetap memiliki anak autis.
Evaluasi Klinis dan Kriteria Diagnostik Autisme
Beberapa cara untuk mendeteksi autisme antara lain dengan melakukan observasi dan wawancara dengan orangtua, terutama tentang riwayat perkembangan anak. Selain itu ada beberapa tes untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya autis (Widihastuti, 2007).
a.      Tes medis
      Tes medis dilakukan dengan tujuan untuk mengeliminasi kemungkinan alasan lain pada gangguan perilaku seseorang, atau untuk melihat jika ada gangguan spesifik  dan hambatan perkembangan (Secile-Kira, 2004).
1)      Tes pendengaran: tes seperti audiogram dan tympanogram dapat mendeteksi individu jika memiliki kerusakan pendengaran.
2)      Tes genetik: tes darah dapat mengetahui abnormalitas di dalam gen yang menyebabkan gangguan perkembangan.
3)      Electroencephalogram (EEG): EEG dapat mendeteksi tumor atau abnormalitas otak yang lain. EEG juga dapat mengukur gelombang otak yang dapat memperlihatkan gangguan dari serangan.
4)      Screening metabolis: tes laboratorium darah dan urin mengukur bagaimana metabolisme makanan anak dan pengaruhnya pada pertumbuhan dan perkembangan.
5)      Magnetic resonance imaging (MRI): dapat menggambarkan otak dengan sangat detil.
6)      Computer-assisted axial tomography (CAT scan): digunakan untuk mendiagnosis masalah struktural di dalam otak dengan mengambil ribuan pemotretan yang direkonstruksi dengan sangat detil.
b.      Cheklist Perilaku
Cheklist perilaku digunakan untuk menentukan apakah seseorang memiliki sejumlah karakteristik yang didefinisikan autisme (Widihastuti, 2004). Cheklist perilaku yang digunakan antara lain: 1) Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM-IV, 2) Checklist for Autism inToddler atau CHAT, 3) Childhood Autism Rating Scale atau CARS.

Tritmen, Terapi, dan Intervensi
Beberapa pilihan tritmen, terapi dan intervensi yakni (Secile-Kira, 2004):
a.      Tritmen Berbasis Ketrampilan
Merupakan program yang mengajarkan anak autis ketrampilan spesifik menggunakan metode-metode tertentu. Beberapa diantaranya adalah: (1) ABA (Applied Behavior Analysis), (2) RPM (Rapid Prompting Method), (3) PECS (Picture Exchange Communication System), (4) FC (Facilitated Communication), (5) Sosial Skills Training, (6) RDI (Relationship Development Intervention)
b.      Intervensi Berorientasi Fisiologis: Terapi Untuk Permasalahan Sensori
Kategori tritmen ini meliputi terapi yang ditujukan untuk masalah sensoris seperti diet dan intervensi biomedis. Contoh jenis terapi: (1) Sensory Integration (SI), (2) Auditory Integration Training (AIT), (3) Irlen Lenses.
c.      Intervensi Berorientasi Fisiologis: Pendekatan Diet dan Biomedis
Tipe intervensi ini efektif dalam membantu orang yang metabolismenya tidak berfungsi baik. Contoh terapi: (1) diet bebas gluten/bebas kasein, (2) diet anti jamur (antifungal), (3) tritmen detoxifikasi merkuri (chelation), (4) vitamin B6 dan magnesium, (5) asam lemak, (6) Ion Sulfat, (7) enzim, (8) sekretin, (9) tritmen psikofarmakologis (pengobatan tradisional).
d.      Tritmen Berdasar pada Pembentukan Hubungan Interpersonal
Tritmen ini memfasilitasi kelekatan dan keterikatan serta rasa keterhubungan, yang dipandang sebagai landasan untuk membangun perkembangan normal anak. Beberapa pendekatan yang digunakan: (1) pendekatan Floor Time, (2) program Son Rise, (3) Holding Therapy, (4) psikoanalisis.
e.      Tritmen Kombinasi: (1) TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children), (2) terapi kehidupan sehari-hari, (3) terapi wicara, (4) terapi okupasi, (5) terapi musik, (6) tekhnologi bantu dan program komputer.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar