Ini adalah pahatan dan ukiran setiap kisah., sebentuk cerita, pelajaran, cinta dan airmata di sepanjang perjalanan kehidupan.

Rabu, 29 Agustus 2012

“CHILDREN OF A LESSER GOD”


Sumber gambar: http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=film%20CHILDREN%20OF%20A%20LESSER%20GOD&oe=utf-8&channel=suggest&um=1&ie=UTF-8&hl=id&tbm=isch&source=og&sa=N&tab=wi&ei=hVo-UIv5LITJrAfAqIC4DA&biw=991&bih=411&sei=iVo-UIzhIcTmrAf234DQAQ


Film ini bercerita tentang pengabdian seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah dengan murid-murid yang memiliki kebutuhan khusus, yakni anak-anak yang mengalami tuna rungu. Guru tersebut pada awalnya sudah memiliki berpengalaman mengajar di berbagai sekolah normal di kota-kota besar. Mungkin karena sebuah panggilan jiwa, ia kemudian berhijrah ke sebuah kota kecil untuk mengajar di sekolah untuk anak-anak tuna rungu. Guru tersebut punya keahlian khusus, yakni mampu berbicara dengan bahasa isyarat karena pernah bekerja sebagai penyiar televisi dengan bahasa isyarat untuk orang-orang tuna rungu.
Menjadi guru adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Ia memerlukan pengetahuan dan keahlian khusus. Pengetahuan akan bidang yang diajarnya, juga memerlukan keahlian dan ketrampilan untuk mengajar bidang yang diajarnya. Apalagi mengajar untuk anak-anak yang tidak biasa, anak-anak yang memiliki keterbatasan di salah satu indra fisiknya, maka semakin dibutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus tersebut.
Salah satu komponen yang sangat mempengaruhi jalannya proses belajar-mengajar adalah kehadiran seorang guru. Pengalaman saya sebagai seorang murid yang pernah diajar oleh berbagai guru dari semenjak Taman Kanak-Kanak hingga kini menjadi seorang mahasiswa pasca sarjana, guru dapat mempengaruhi ”ketertarikan”-”antusiasme”-”semangat”-”rasa keingintahuan”- seorang murid kepada bidang yang diajarkannya. Suasa hidup atau kelesuan di dalam kelas juga di tentukan bagaimana gaya mengajar seorang guru. Guru yang sangat atraktif dan dinamis baik dari ekspresi muka dan intonasi suara dan tanpa mengesampingkan pada penguasaan materi akan menghasilkan suasana kelas yang hidup. Murid-mirid juga akan cenderung untuk aktif di dalam proses pengajaran. Namun jika yang terjadi sebaliknya, guru bersifat monoton, dan tidak memiliki inovasi dan kreatifitas dalam mengajar cenderung membuat peserta didik untuk lesu dan tidak bergairah dalam mengikuti pengajaran di kelas. Mudah bosan, ngantuk dan tidak ”ngeh” dengan materi yang disampaikan adalah fenomena yang banyak dijumpai pada peserta didik jika guru tidak kreatif dan inovatif dalam mengajar. Kesukaan atau ketidaksukaan seorang murid pada suatu mata pelajaran atau mata kuliah juga banyak ditentukan oleh siapa guru yang mengajar tersebut.
Tokoh guru dalam film ini adalah contoh guru yang sangat inovatif dan kreatif dalam mengajar murid-muridnya. Ia menerobos aturan konvensional dalam gaya mengajarnya. Bahkan yang paling menarik menurut saya adalah ketika guru tersebut justru berhasil mengasah bakat dan talenta dari murid-muridnya yang sangat membutuhkan indra pendengaran untuk mendapatkan performance yang bagus. Guru tersebut berhasil melatih murid-muridnya yang tuna rungu untuk bermain gerak tari mengiringi sebuah lagu ketika pentas seni yang diadakan sekolah mereka. Keberhasilan kedua yang saya anggap merupakan prestasi dari guru tersebut adalah ia bisa membuat murid-muridnya merasa yakin dan percaya diri berbicara (mengucapkan kata-kata) selain juga menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi. Hal ini bukan usaha yang mudah, sebab biasanya anak-anak yang tuna rungu merasa minder dan kurang percaya diri dengan suara mereka yang aneh dan jelek ketika berbicara. Dibutuhkan pendekatan dan rapport personal untuk menyakinkan para murid-murid tuna rungu ini.
Individu yang mengalami disabilitas pada umumnya rawan mengalami diskriminasi di berbagai aspek kehidupan dan juga pelecehan seksual dari orang-orang di sekitarnya. Ini terlihat dalam film melalui tokoh si gadis tuna rungu yang menjadi petugas kebersihan di sekolah tersebut. Di ceritakan, tokoh guru melihat bahwa si gadis petugas kebersihan ini sebenarnya cerdas dan pandai, tetapi ia tidak pernah mau belajar berbicara dan sebenarnya sayang dengan potensinya yang begitu besar jika hanya menjadi petugas kebersihan. Ia sebenarnya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Melihat kondisi ini, tokoh guru tergerak untuk menolong si gadis. Tapi ternyata si gadis sangat sulit untuk didekati dan menolak keras untuk diajari berbicara. Naluri keingintahuan tokoh guru mendorong dia untuk menyelidiki penyebab si gadis berperilaku demikian. Tokoh guru sampai rela mendatangi rumah ibu si gadis yang jaraknya sangat jauh dari sekolah tersebut. Ternyata diketahui hubungan ibu dan si gadis kurang baik. Setelah usaha pendekatan yang tak kenal lelah, luluh juga hati si gadis. Ia akhirnya bercerita bahwa dirinya mengalami pelecehan seksual yang dilakukan teman-teman lelaki kakaknya. Ia merasa dimanfaatkan karena keterbatasan fisiknya. Ia merasa hanya dijadikan objek pemuas nafsu seksual laki-laki tanpa diberikan cinta dan perlakuan yang manusiawi. Akhirnya ia lari dari rumah untuk mengakhiri semua itu.  
Si gadis tidak mau belajar berbicara karena pengalaman traumatis yang dialaminya sewaktu kecil. Ketika ia belajar berbicara, semua orang mentertawakan dan mengejek suaranya yang jelek dan aneh. Hal ini sangat membekas dalam alam bawah sadar si gadis dan membuatnya memiliki persepsi negatif pada kemampuan berbicaranya. Hal ini memberi pelajaran penting pada kita agar jangan berperilaku demikian (mengejek dan menjadikan mereka sebagai bahan tertawaan) pada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus pada umumnya. Efek negatifnya sangat mempengaruhi kehidupan masa mendatang pada anak-anak tersebut. Jika kita menertawakan dan mengejek usaha yang dilakukan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus tersebut artinya kita telah menjatuhkan harga diri mereka dan mematikan keinginan mereka untuk belajar. Mereka tidak memperoleh reward atas usaha mereka tapi justru memperoleh pengalaman traumatis. Hal ini perlu disosialisasikan pada masyarakat sekitar sebagai komunitas sosial dimana anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus hidup dan bertempat tinggal. Lingkungan sosial hendaknya memberikan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak yang mengalami disabilitas untuk belajar dan mengembangkan potensi mereka.
Memiliki anak yang cacat merupakan hal yang berat bagi sebuah keluarga.  Semua orang tua menghendaki anak-anaknya lahir dengan profil ideal yang mereka bayangkan, sehingga mereka memiliki suatu tuntutan sesuai dengan harapannya. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh dan berkembang sehat dan normal sebagaimana anak lain, memiliki kecerdasan, akhlak yang bagus, dapat bergaul dan bersosialisasi dengan orang lain, serta diharapkan kelak dapat mandiri. Orang tua seringkali mengamati dan membandingkan kondisi anaknya dengan anak-anak lainnya. Ketika orang tua menyadari bahwa buah hatinya ternyata tidak sempurna atau tidak sesuai dengan apa yang mereka yakini, banyak reaksi-reaksi emosional yang ditampilkan. Mereka menunjukkan respon shock atau kaget, menolak, kesedihan yang mendalam, kemarahan, dan berbagai macam reaksi lainnya. Kegembiraan yang didapat dapat berubah menjadi kekecewaan. Begitu pula yang terjadi pada orangtua yang memiliki anak yang didiagnosa menyandang tuna rungu.
Banyak permasalahan yang dihadapi oleh orangtua yang memiliki anak-anak yang mengalami disabilitas. Permasalahan yang dihadapi antara lain: (1) perbedaan penerapan pola asuh dan penerapan kedisiplinan antara ayah dan ibu, (2) ketidakmampuan dalam mengendalikan masalah perilaku anak, (3) adanya reaksi menarik diri dari orangtua, (4) adanya sibling atau kecemburuan dalam keluarga, (4) rasa kehilangan pengharapan, (5) rasa marah atau kebencian, (6) keretakan hubungan dalam keluarga, (7) adanya isolasi hubungan dengan lingkungan, (8) kondisi finansial dalam keluarga, (9) kurangnya dukungan dalam keluarga. Kehadiran seorang anak yang mengalami disabilitas juga dapat menyebabkan perubahan dalam beberapa aspek keluarga seperti aspek kehidupan ekonomi keluarga, rencana jangka panjang orang tua, dan juga pembagian peran diantara anggota keluarga.
Permasalahan-permasalahan tersebut mungkin juga dialami keluarga tokoh si gadis dalam film tersebut. Bahkan diceritakan ibu si gadis sampai membenci putrinya sendiri yang mengalami tuna rungu karena dianggap sebagai penyebab kepergian suami si ibu dari rumah. Namun pada akhirnya, ibu si gadis dapat menerima sepenuh hati kondisi putrinya tersebut, bahkan memberi dukungan baik material dan mental pada putrinya.
Para penyandang cacat fisik tetap memiliki perkembangan psikologis yang sama dengan anak-anak yang normal fisiknya. Para penyandang cacat juga dapat mengalami fase jatuh cinta. Namun bukan hal mudah menjalin relasi dengan lawan jenis, apalagi jika pasangannya adalah orang normal. Banyak perbedaan-perbedaan dan keterbatasan-keterbatasan yang harus dilalui pasangan ini. Banyak penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan bila menginginkan hubungan atau relasi tersebut bertahan lama. Kuncinya adalah rasa kasih sayang dan saling mencintai dengan sepenuhnya, juga saling berusaha memahami dunia masing-masing pasangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar