Sumber gambar: http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=film%20CHILDREN%20OF%20A%20LESSER%20GOD&oe=utf-8&channel=suggest&um=1&ie=UTF-8&hl=id&tbm=isch&source=og&sa=N&tab=wi&ei=hVo-UIv5LITJrAfAqIC4DA&biw=991&bih=411&sei=iVo-UIzhIcTmrAf234DQAQ
Film
ini bercerita tentang pengabdian seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah
dengan murid-murid yang memiliki kebutuhan khusus, yakni anak-anak yang
mengalami tuna rungu. Guru tersebut pada awalnya sudah memiliki berpengalaman
mengajar di berbagai sekolah normal di kota-kota besar. Mungkin karena sebuah
panggilan jiwa, ia kemudian berhijrah ke sebuah kota kecil untuk mengajar di
sekolah untuk anak-anak tuna rungu. Guru tersebut punya keahlian khusus, yakni
mampu berbicara dengan bahasa isyarat karena pernah bekerja sebagai penyiar
televisi dengan bahasa isyarat untuk orang-orang tuna rungu.
Menjadi
guru adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Ia memerlukan pengetahuan dan keahlian
khusus. Pengetahuan akan bidang yang diajarnya, juga memerlukan keahlian dan
ketrampilan untuk mengajar bidang yang diajarnya. Apalagi mengajar untuk
anak-anak yang tidak biasa, anak-anak yang memiliki keterbatasan di salah satu
indra fisiknya, maka semakin dibutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus
tersebut.
Salah
satu komponen yang sangat mempengaruhi jalannya proses belajar-mengajar adalah
kehadiran seorang guru. Pengalaman saya sebagai seorang murid yang pernah
diajar oleh berbagai guru dari semenjak Taman Kanak-Kanak hingga kini menjadi
seorang mahasiswa pasca sarjana, guru dapat mempengaruhi ”ketertarikan”-”antusiasme”-”semangat”-”rasa
keingintahuan”- seorang murid kepada bidang yang diajarkannya. Suasa hidup atau
kelesuan di dalam kelas juga di tentukan bagaimana gaya mengajar seorang guru.
Guru yang sangat atraktif dan dinamis baik dari ekspresi muka dan intonasi
suara dan tanpa mengesampingkan pada penguasaan materi akan menghasilkan
suasana kelas yang hidup. Murid-mirid juga akan cenderung untuk aktif di dalam
proses pengajaran. Namun jika yang terjadi sebaliknya, guru bersifat monoton,
dan tidak memiliki inovasi dan kreatifitas dalam mengajar cenderung membuat
peserta didik untuk lesu dan tidak bergairah dalam mengikuti pengajaran di
kelas. Mudah bosan, ngantuk dan tidak ”ngeh” dengan materi yang disampaikan
adalah fenomena yang banyak dijumpai pada peserta didik jika guru tidak kreatif
dan inovatif dalam mengajar. Kesukaan atau ketidaksukaan seorang murid pada
suatu mata pelajaran atau mata kuliah juga banyak ditentukan oleh siapa guru
yang mengajar tersebut.
Tokoh
guru dalam film ini adalah contoh guru yang sangat inovatif dan kreatif dalam
mengajar murid-muridnya. Ia menerobos aturan konvensional dalam gaya
mengajarnya. Bahkan yang paling menarik menurut saya adalah ketika guru
tersebut justru berhasil mengasah bakat dan talenta dari murid-muridnya yang
sangat membutuhkan indra pendengaran untuk mendapatkan performance yang bagus.
Guru tersebut berhasil melatih murid-muridnya yang tuna rungu untuk bermain
gerak tari mengiringi sebuah lagu ketika pentas seni yang diadakan sekolah
mereka. Keberhasilan kedua yang saya anggap merupakan prestasi dari guru
tersebut adalah ia bisa membuat murid-muridnya merasa yakin dan percaya diri
berbicara (mengucapkan kata-kata) selain juga menggunakan bahasa isyarat dalam
berkomunikasi. Hal ini bukan usaha yang mudah, sebab biasanya anak-anak yang
tuna rungu merasa minder dan kurang percaya diri dengan suara mereka yang aneh
dan jelek ketika berbicara. Dibutuhkan pendekatan dan rapport personal untuk
menyakinkan para murid-murid tuna rungu ini.
Individu
yang mengalami disabilitas pada umumnya rawan mengalami diskriminasi di
berbagai aspek kehidupan dan juga pelecehan seksual dari orang-orang di
sekitarnya. Ini terlihat dalam film melalui tokoh si gadis tuna rungu yang
menjadi petugas kebersihan di sekolah tersebut. Di ceritakan, tokoh guru
melihat bahwa si gadis petugas kebersihan ini sebenarnya cerdas dan pandai,
tetapi ia tidak pernah mau belajar berbicara dan sebenarnya sayang dengan
potensinya yang begitu besar jika hanya menjadi petugas kebersihan. Ia
sebenarnya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Melihat kondisi ini,
tokoh guru tergerak untuk menolong si gadis. Tapi ternyata si gadis sangat
sulit untuk didekati dan menolak keras untuk diajari berbicara. Naluri
keingintahuan tokoh guru mendorong dia untuk menyelidiki penyebab si gadis berperilaku
demikian. Tokoh guru sampai rela mendatangi rumah ibu si gadis yang jaraknya
sangat jauh dari sekolah tersebut. Ternyata diketahui hubungan ibu dan si gadis
kurang baik. Setelah usaha pendekatan yang tak kenal lelah, luluh juga hati si
gadis. Ia akhirnya bercerita bahwa dirinya mengalami pelecehan seksual yang
dilakukan teman-teman lelaki kakaknya. Ia merasa dimanfaatkan karena
keterbatasan fisiknya. Ia merasa hanya dijadikan objek pemuas nafsu seksual
laki-laki tanpa diberikan cinta dan perlakuan yang manusiawi. Akhirnya ia lari
dari rumah untuk mengakhiri semua itu.
Si
gadis tidak mau belajar berbicara karena pengalaman traumatis yang dialaminya
sewaktu kecil. Ketika ia belajar berbicara, semua orang mentertawakan dan
mengejek suaranya yang jelek dan aneh. Hal ini sangat membekas dalam alam bawah
sadar si gadis dan membuatnya memiliki persepsi negatif pada kemampuan
berbicaranya. Hal ini memberi pelajaran penting pada kita agar jangan
berperilaku demikian (mengejek dan menjadikan mereka sebagai bahan tertawaan)
pada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus pada umumnya. Efek negatifnya
sangat mempengaruhi kehidupan masa mendatang pada anak-anak tersebut. Jika kita
menertawakan dan mengejek usaha yang dilakukan anak-anak yang memiliki kebutuhan
khusus tersebut artinya kita telah menjatuhkan harga diri mereka dan mematikan
keinginan mereka untuk belajar. Mereka tidak memperoleh reward atas usaha
mereka tapi justru memperoleh pengalaman traumatis. Hal ini perlu
disosialisasikan pada masyarakat sekitar sebagai komunitas sosial dimana
anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus hidup dan bertempat tinggal.
Lingkungan sosial hendaknya memberikan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak
yang mengalami disabilitas untuk belajar dan mengembangkan potensi mereka.
Memiliki
anak yang cacat merupakan hal yang berat bagi sebuah keluarga. Semua orang tua menghendaki anak-anaknya
lahir dengan profil ideal yang mereka bayangkan, sehingga mereka memiliki suatu
tuntutan sesuai dengan harapannya. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya
tumbuh dan berkembang sehat dan normal sebagaimana anak lain, memiliki
kecerdasan, akhlak yang bagus, dapat bergaul dan bersosialisasi dengan orang
lain, serta diharapkan kelak dapat mandiri. Orang tua seringkali mengamati dan membandingkan
kondisi anaknya dengan anak-anak lainnya. Ketika orang tua menyadari bahwa buah
hatinya ternyata tidak sempurna atau tidak sesuai dengan apa yang mereka
yakini, banyak reaksi-reaksi emosional yang ditampilkan. Mereka menunjukkan
respon shock atau kaget, menolak, kesedihan yang mendalam, kemarahan, dan
berbagai macam reaksi lainnya. Kegembiraan yang didapat dapat berubah menjadi
kekecewaan. Begitu pula yang terjadi pada orangtua yang memiliki anak yang
didiagnosa menyandang tuna rungu.
Banyak
permasalahan yang dihadapi oleh orangtua yang memiliki anak-anak yang mengalami
disabilitas. Permasalahan yang dihadapi antara lain: (1) perbedaan penerapan pola asuh dan
penerapan kedisiplinan antara ayah dan ibu, (2) ketidakmampuan dalam
mengendalikan masalah perilaku anak, (3) adanya reaksi menarik diri dari
orangtua, (4) adanya sibling atau kecemburuan dalam keluarga, (4) rasa
kehilangan pengharapan, (5) rasa marah atau kebencian, (6) keretakan hubungan
dalam keluarga, (7) adanya isolasi hubungan dengan lingkungan, (8) kondisi
finansial dalam keluarga, (9) kurangnya dukungan dalam keluarga. Kehadiran
seorang anak yang mengalami disabilitas juga dapat menyebabkan perubahan dalam
beberapa aspek keluarga seperti aspek kehidupan ekonomi keluarga, rencana jangka panjang orang tua, dan
juga pembagian peran diantara anggota keluarga.
Permasalahan-permasalahan
tersebut mungkin juga dialami keluarga tokoh si gadis dalam film tersebut.
Bahkan diceritakan ibu si gadis sampai membenci putrinya sendiri yang mengalami
tuna rungu karena dianggap sebagai penyebab kepergian suami si ibu dari rumah.
Namun pada akhirnya, ibu si gadis dapat menerima sepenuh hati kondisi putrinya
tersebut, bahkan memberi dukungan baik material dan mental pada putrinya.
Para
penyandang cacat fisik tetap memiliki perkembangan psikologis yang sama dengan
anak-anak yang normal fisiknya. Para penyandang cacat juga dapat mengalami fase
jatuh cinta. Namun bukan hal mudah menjalin relasi dengan lawan jenis, apalagi
jika pasangannya adalah orang normal. Banyak perbedaan-perbedaan dan
keterbatasan-keterbatasan yang harus dilalui pasangan ini. Banyak
penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan bila menginginkan hubungan atau
relasi tersebut bertahan lama. Kuncinya adalah rasa kasih sayang dan saling
mencintai dengan sepenuhnya, juga saling berusaha memahami dunia masing-masing
pasangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar