Sebuah film yang
tidak pernah bosan saya tonton, meskipun telah berulang kali saya menontonnya.
Sebenarnya awal
ketertarikan akan film ini karena melihat tokoh anak yang begitu menggemaskan
sih, so cute banget lah. Plus baju-bajunya yang cantik-cantik dan lucu-lucu,
hihihi. Tapi selanjutnya begitu menyimak kisah selanjutnya, semakin saya
terpesona, dan makin terpesona pada film ini.
Film ini bercerita
tentang kisah seorang guru (Annie Sullivan) yang mendapatkan tantangan untuk
mengajari seorang anak dari keluarga kaya raya (keluarga Keller) yang mengalami
multi kecacatan seperti buta, tuli, dan bisu dan berperilaku liar (penuh
kemarahan, menyerang orang lain, menyakiti diri sendiri). Kondisi ini jelas
bisa membahayakan keselamatan orang lain maupun diri anak sendiri.
Saya mungkin sudah
akan menyerah semenjak awal. Jika begitu banyak kecacatan yang dialami
seorang anak, lantas bagaimana cara mengajari anak ini?, tidak bisa melihat,
mendengar, dan berbicara. Ckckckck...sangat kompleks. Helen (nama tokoh anak) akan
berjalan dengan cara meraba-raba, seringkali menabrak benda-benda ataupun
bagian-bagian di dalam rumah, berkomunikasi dengan orang lain dengan bahasa
isyarat berupa ketukan tangan (sentuhan, coz dia kan juga tidak bisa melihat dan mendengar).
Orangtua anak ini
begitu frustasi dengan kondisi anaknya. Selain frustasi, orangtua juga merasa
begitu prihatin dan kasihan melihat kondisi anak. Kehadiran anak cacat telah
mempengaruhi hubungan seluruh anggota keluarga, mempengaruhi kehidupan
perkawinan, menguras waktu mereka untuk menjaga anak cacat. Orangtua kemudian
berupaya untuk mengusahakan perbaikan kondisi anak dengan memanggil seorang
guru privat untuk mengajari sang putri. Sistem pendidikan yang diterapkan
adalah homeschooling. Hanya saja dalam kasus ini, gurulah yang tinggal di rumah
siswa agar bisa total dalam mengajar si anak.
Hal pertama yang
dilakukan oleh guru adalah melakukan observasi, baik pada perilaku anak maupun
perlakuan keluarga kepada Helen. Sikap yang seringkali keliru dari pihak keluarga
adalah sikap mengasihi anak dengan cara yang salah. Hal ini bisa tercermin dari
perlakuan keluarga yang membiarkan saja, saat Helen berperilaku tidak sopan
terhadap orang lain, memberikan apa yang menjadi keinginan Helen, pada saat
Helen berperilaku buruk agar Helen menghentikan perilaku buruknya (memberikan
permen agar Helen tenang sementara). Orangtua tidak sadar bahwa respon demikian
merupakan respon penguatan bagi anak untuk kembali melakukan perilaku buruk
demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Anak bisa mengontrol orang-orang
sekitarnya dengan perilaku buruknya. Sikap yang salah selanjutnya adalah rasa
tidak tega kepada anak pada saat guru ingin mendisiplinkan anak/mengajari anak.
Sikap selanjutnya adalah adanya harapan yang tidak realistis terhadap kondisi
anak. Pada umumnya orangtua ingin agar pengobatan/terapi/pendidikan kepada anak
dapat bekerja dengan hasil instan. Jelas hal ini tidak mungkin, karena esensi
dalam sebuah pembelajaran adalah proses. Sikap-sikap ini jelas menghambat
proses pembelajaran yang di lakukan oleh guru terhadap anak.
Masih menyoroti
soal sikap orangtua. Orangtua yang memiliki anak cacat seharusnya juga
memperhatikan anak lain jika memang ada. Hal ini untuk mencegah terjadinya
sibling rivalry atau kecemburuan pada saudara kandung (atau saudara titi) dari
anak cacat. Meskipun anak cacat membutuhkan perhatian yang ekstra lebih dari
orangtua, orangtua juga harus memperhatikan kebutuhan anak-anaknya yang lain.
Orangtua dapat memberikan pemahaman akan kondisi saudara yang cacat,
menyediakan waktu khusus antara orangtua dan anak tanpa kehadiran dari anak
cacat, melibatkan saudara kandung dalam proses pengasuhan anak cacat.
Cara yang
dilakukan guru dalam mengajar anak:
1. mengajar bahasa. Meski anak bisu tidak
memiliki kata-kata untuk berkomunikasi, namun ia harus memiliki sebuah alat
bantu bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain. Orangtua tidak boleh
membiarkan anak tidak memiliki bahasa, meskipun orangtua berkilah “ia memahami
semua kebutuhan anak cacat”. Menurut bu Sullivan, meskipun seorang anak
mengalami kecacatan, kecacatan itu hanya pada inderanya, bukan pada pikirannya.
Jadi bahasa itu sangat penting sekali, “lebih penting bahasa sebagai cahaya
pikiran, daripada cahaya bagi mata.ӈ istilahnya amat sangat keren menurut saya. Inilah kehebatan
bu Sullivan. Ia yakin bisa mengajar si anak, meskipun ia tidak bisa berbicara
pada anak. Satu hal yang dibutuhkan guru dalam hal ini adalah dukungan penuh
dari orangtua. Dalam mengajar bahasa, karena Helen ini bisu dan tuli, caranya
adalah dengan isyarat tangan, dan cara mengajarkannya adalah bu Sullivan
mempraktekkan huruf demi huruf dan membimbing Helen supaya menirukannya. Setiap benda yang dipegang Helen diperkenalkan namanya
dan di contohkan huruf-huruf pembentuk kata itu. Namun yang menjadi
permasalahan adalah Helen tidak bisa memberikan makna bagi benda tersebut,
meskipun di kemudian hari ia menguasai begitu banyak huruf melalui isyarat jari
tangannya. Jarinya belajar aksara, tugas kemudian, otaknya akan memproses bahwa aksara
memiliki makna. Agar bisa berkomunikasi timbal balik dengan orang lain, maka
keluarga juga harus belajar akan bahasa isyarat ini, sama halnya dengan anak
yang belajar mengeja aksara melalui jari-jari tangannya.
2. belajar
disiplin, sebab semua anggota keluarga tidak ada yang berusaha mengatur si
anak. Tantangannya: membuat anak disiplin, tanpa mematahkan semangat belajar
anak. Biasanya anak menjadi tidak disiplin karena anak selalu dipenuhi
permintaannya, meskipun ia berlaku tidak sopan. Orangtua berlaku seperti itu
karena kasihan terhadap anak, karena anak marah-tantrum-melukai diri sendiri. Perlu
disadari orangtua, anak seperti itu karena dia tidak tahu bagaimana cara
mendapatkan permintaannya dengan cara yang benar. Jika semua orang melindungi
anak dan berbelas kasih maka anak akan terus berperilaku buruk. Mengajarkan anak
untuk berperilaku baik sangat penting dilakukan semenjak dini, meskipun kadang
orangtua berlaku keras dan tidak selalu menuruti permintaan anak. Hal ini
penting sebab tidak selamanya orangtua bisa mendampingi anak, orangtua bisa
melakukan atau memenuhi kebutuhan anak. Anak harus belajar melakukan segala
sesuatunya sendiri (terutama kegiatan bina diri) secara mandiri agar kelak
dikemudian hari ia tidak lagi merepotkan atau membebani orangtuanya. Apa yang
dituntut orangtua terhadap diri anak, itulah yang akan membentuk diri anak.
3. Harapan. Kadang
kendala guru adalah ketika orangtua melihat tidak ada secerca harapan. Memang memerlikan
kesabaran, karena anak dengan kecacatan, bahkan multiple bisa mdiajari dalam
waktu yang instan.
4. belajar patuh.
Anak harus belajar untuk patuh kepada guru maupun orangtuanya.
Dibutuhkan konsistensi orangtua agar anak mencapai kemajuan. Kemajuan yang
dicapai anak, sangatlah berarti dan hal ini dapat menjadi harapan bahwa anak
akan berkembang menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar