Ini adalah pahatan dan ukiran setiap kisah., sebentuk cerita, pelajaran, cinta dan airmata di sepanjang perjalanan kehidupan.

Selasa, 01 Mei 2012

Memotret sarang sang kupu-kupu malam


Ada sebuah perjalanan yang membawa banyak bahan renungan bagi diri saya secara pribadi.  Perjalanan ini dilakukan saat saya mengikuti sebuah kuliah di tahun 1999. Dosen saya mengajak seluruh peserta mata kuliah untuk melakukan perjalanan observasi dan wawancara di sebuah tempat yang dikenal sebagai komunitas penghasil pelacur. 

Jangan dibayangkan bahwa ketika saya menyebut ”komunitas penghasil pelacur” akan muncul sebuah gambaran bahwa tempat itu memiliki nuansa seperti rumah bordil yang banyak ditayangkan di media televisi. Rumah bordil dalam persepsi saya selalu identik dengan wanita-wanita pelacur yang berdandan menor, berpakaian seksi, suka tertawa cekikikan, bersikap genit dan mengundang pada para pengunjung laki-laki. Bayangan seperti itu sama sekali tidak ada di komunitas tersebut. Untuk memudahkan, maka saya akan menyebut komunitas tersebut dengan menggunakan inisial komunitas K. Juga jangan dibayangkan bahwa yang namanya ”komunitas penghasil pelacur” berarti semua penduduk wanitanya adalah pelacur. Bukan, sama sekali berbeda. Ini penting saya kemukakan, untuk membuat gambaran yang lebih pas tentang ”komunitas penghasil pelacur”.

Malam pertama menginap di komunitas itu, dosen kami sengaja mengundang beberapa tokoh, seperti 2 orang pelacur (mbak A dan mbak U), suami pelacur yang istrinya bekerja sebagai pelacur (bang J), mantan kepala desa (Pak S), dan seorang suami yang memiliki 3 ipar perempuan yang bekerja sebagai pelacur, sedangkan istrinya sendiri tidak terjun sebagai seorang pelacur (pak M). Saya hanya berhasil mewancarai 3 orang saja yakni mbak A, Pak S, dan Pak M, karena waktu yang disediakan untuk wawancara terbatas.
Dari ketiga narasumber ini saya akan memfokuskan wawancara pada perubahan makna keluarga yang terjadi di komunitas K ini. Dalam budaya Indonesia khususnya, hubungan seksual harus dilakukan  di dalam sebuah lembaga pernikahan. Jika sampai terjadi hubungan seksual di luar pernikahan, maka hal tersebut menjadi hal yang tabu, terlarang, dan melangggar etika dan norma agama. Akan tetapi, terdapat sebuah fenomena yang menarik yang terdapat di K ini. Beberapa perempuan, baik yang masih bersuami atau janda memiliki profesi sebagai pelacur. Para perempuan ini melakukan banyak hubungan seksual dengan banyak pria lain selain daripada suaminya, dengan transaksi uang sebagai bayarannya. Yang lebih menarik lagi, suami dan keluarga justru membolehkan bahkan mendukung aksi pelacuran yang dilakukan oleh pelacur ini. Lantas seperti apa makna keluarga yang dimiliki oleh pelacur beserta suami dan juga orangtua mereka?

Dari ketiga narasumber tadi saya menangkap kesan bahwa seorang pelacur dan pekerjaan melacurnya adalah hal yang biasa bagi warga di komunitas tersebut. Seorang pelacur tidak akan pernah dikucilkan, diejek atau di caci maki, atau bahkan disingkirkan oleh keluarga dan para tetangga mereka. Pekerjaan melacur adalah sama seperti pekerjaan lain sebagai salah satu alternatif mata pencaharian. Pemandangan seorang suami mengantar istrinya pergi ke hotel tampat istrinya melacur juga merupakan hal biasa. Keterangan ini saya peroleh dari wawancara dengan mbak A. Jika mendapat ”panggilan” dari mucikari untuk melayani kliennya, maka ketika berangkat ke hotel tempat ia bekerja, maka ia akan diantar oleh suaminya. Jika pekerjaannya sudah selesai maka ia akan sms suaminya minta dijemput. Masih menurut keterangan dari mbak A, jika malam ia pergi melacur, maka di siang hari, ia  tetap berperan sebagai ibu rumah tangga biasa, memasak dan mengantar anaknya ke sekolah. Tetangga juga tidak pernah ”rese” dengan perilakunya tersebut.

Fenomena suami dan keluarga yang memperbolehkan istri dan anak perempuan mereka pergi melacur adalah hal menarik untuk dikaji. Dengan mbak A, saya bertanya awal mula ia menjadi seorang pelacur. Dari pengakuannya, ia memiliki sejumlah hutang kepada seseorang (untuk biaya pergi ke Arab Saudi sebagai TKI, tapi ia kabur dan kembali pulang ke Indonesia tanpa membawa hasil karena sang majikan menyiksanya), dan si pemberi penjaman hutang ini menagih hutang tersebut untuk segera dikembalikan. Karena sang suami hanya bekerja sebagai tukang ojek, maka ia tidak bisa mengembalikan hutang tersebut dengan segera. Atas inisiatifnya sendiri, maka ia pergi ke seorang mucikari dan meminta pekerjaan sebagai seorang pelacur sebagai jalan tercepat untuk menyelesaikan persolan hutang tersebut. ”Apakah suami mbak tidak marah setelah mengetahui mbak melakukan hal tersebut?” tanya saya pada mbak A. ”Ya awalnya marah-marah, tapi selanjutnya enggak”.  Perlu diketahui, mbak A ini sudah melacur kurang lebih selama 4 tahun, sejak anaknya umur 6 bulan hingga kini sang anak sudah berumur 4 tahunan. ”Sudah memperoleh apa saja dari hasil melacur ini”?, tanya saya pada mbak A. ” Ya banyak mbak, dari dulunya rumah ”gedhek” sekarang sudah ”gedong”, punya hape, punya motor, punya sapi”. Saya kembali mengajukan tanya pada mbak A, ”lantas mau sampai berapa lama melakukan pekerjaan ini?”, mbak A menjawab: ”Ya, saya ga tahu, saya masih punya banyak cita-cita, saya mesti menyekolahkan anak saya sampai tinggi, saya ingin mengumpulkan modal untuk membuka usaha sendiri, ya daganglah-punya toko yang agak gedhe”.

Dari petikan beberapa wawancara di atas, seperti terkesan bahwa motif ekonomilah yang menjadi causa seseorang menjadi seorang pelacur. Lantas mengapa suami dan orangtua mengijinkan istri dan anak perempuannya melakukan pekerjaan tersebut?

Kegiatan melacur seperti yang dilakukan oleh mbak A ini bukan merupakan suatu tujuan akhir, tetapi merupakan suatu alat atau batu loncatan untuk memperoleh tujuan selanjutnya. Jika merupakan sebuah tujuan akhir, maka seharusnya ketika hutang yang melilit mbak A sudah terlunasi, maka mbak A akan berhenti menjadi seorang pelacur. Nyatanya tidak begitu kan?, Ia bahkan sudah bertahun-tahun menjalani pekarjaannya ini.  Pekerjaan melacur digunakan sebagai suatu alat atau sebuah batu loncatan untuk menggapai tujuan kedua dilihat dari pernyataan mbak A, bahwa ia memperoleh banyak keuntungan materi dari hasil melacurnya ini, dan masih memiliki keinginan-keinginan lain yang diharapkan tercapai dengan jalan melacur ini. Suami atau keluarga yang membolehkan bahkan mendukung pekerjaan mbak A, mungkin saja di dasari alasan bahwa mereka juga memperoleh keuntungan dari pekerjaan melacur dari istri dan anak mereka. Yang pertama, kemungkinan ongkos kehidupan sehari-hari dari suami dan orangtua di penuhi istri dan anak perempuan mereka yang bekerja sebagai pelacur. Yang kedua, biasanya mereka menjadi memiliki barang-barang materi yang mewah, seperti rumah bagus, hape, motor dan sebagainya. Barang-barang mewah ini menjadi simbol status sosial ekonomi. Dengan kepemilikan barang-barang mewah ini tentu saja secara otomatis akan meningkatkan status sosial ekonomi keluarga tersebut di lingkungan komunitas tersebut. Kepemilikan barang-barang ini juga menunjukkan sebuah prestisius bagi keluarga tersebut di lingkungan sekitarnya. Hal lain yang mungkin diperoleh adalah penghargaan dan penghormatan dari warga lain ketika sebuah keluarga memiliki kekayaan materi dibandingkan jika keluarga tersebut tergolong miskin. Suami atau orangtua juga tidak keberatan dengan pekerjaan istri dan anak mereka sebagai pelacur karena mungkin mereka tidak memiliki daya atau otoritas untuk memenuhi aspirasi material yang mereka inginkan. Pekerjaan sebagai tukang ojek atau mungkin petani, akan agak sulit atau memerlukan waktu lama untuk dapat memenuhi berbagai aspirasi material tersebut. 

Hal lain yang juga menguatkan alasan mengapa suami dan orangtua tidak melarang istri dan anak perempuan mereka pergi melacur, bahkan mendukung pekerjaan tersebut adalah karena tidak adanya sangsi sosial yang diberikan pada seorang warga yang bekerja sebagai seorang pelacur. Seperti telah saya singgung di atas, pelacur dan pelacuran sudah dianggap hal biasa di komunitas tersebut. Mereka memandang melacur itu sama seperti pekerjaan yang lain. Dari pak M saya bertanya mengapa warga desa lain menganggap itu sebagai hal biasa dan tidak menegur pelaku dari pelacuran tersebut. ” Kalau saya menegur, mbak, atau melarang pekerjaan tersebut mbak, saya juga tidak tahu bagaimana saya akan mengentaskan mereka dari pelacuran, saya juga tidak punya solusi bagaimana menolong mereka memenuhi kebutuhan sehari-sehari mereka, saya tidak punya alternatif pekerjaan yang dapat saya berikan selain agar seseorang berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang pelacur”.  Dari Pak M, saya mendapatkan jawaban bahwa pelacuran tersebut dianggap biasa karena sebenarnya wilayah komunitas tersebut juga memperoleh keuntungan dari seorang pelacur yang sudah berhasil atau sukses dengan pekerjaannya. Banyak pembangunan-pembangunan fasilitas di komunitas tersebut yang didukung dan dibiayai oleh pelacur. Hal ini tentu saja berdampak pada kemajuan wilayah komunitas tersebut. Dari observasi yang saya dan teman-teman lakukan, banyak masjid-masjid indah dan megah di bangun di wilayah komunitas tersebut. Dan menurut informan, banyak dari masjid-masjid tersebut di bangun oleh para pelacur yang sudah dianggap sukses. Pelacuran di komunitas tersebut telah menjadi bagian dari sebuah sistem perekonomian bagi wilayah komunitas tersebut. Jadi tidak akan pernah ada penggrebekan dan sebagainya terhadap praktek pelacuran yang terjadi.

Kemudian, jika memang begitu keadaannya, apa makna keluarga di komunitas itu?. Fenomena pelacuran di komunitas tersebut bisa dipandang sebagai sebuah bentuk dari sikap yang tidak menghargai lagi bentuk kesakralan sebuah lembaga pernikahan. Jika seorang suami membiarkan istrinya melakukan hubungan seksual dengan banyak lelaki lain selain dirinya, maka tujuan pernikahan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Pernikahan tidak berlaku di wilayah komunitas tersebut. Wanita atau istri dalam sebuah keluarga juga merupakan pelaku dan pendukung perekonomian sebuah keluarga. Seorang istri atau anak perempuan yang cantik memiliki nilai ekonomis yang tinggi bagi sebuah keluarga. Hal ini terjadi di subuah komunitas dimana orangtua atau suami memiliki karakteristik sifat-sifat seperti adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan orientasi material mereka, hidup dalam kemiskinan, malas berusaha, berpendidikan rendah, dan mengadopsi pemikiran-pemikiran fatalis. Karakteristik sifat ini menuntun mereka kepada keyakinan bahwa pelacuran adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Tulisan ini ditopang oleh buku "on the spot, tutur dari sarang pelacur"
(Koentjoro, 2004)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar