Ada
sebuah perjalanan yang membawa banyak bahan renungan bagi diri saya secara
pribadi. Perjalanan ini dilakukan saat saya mengikuti sebuah kuliah di tahun 1999. Dosen saya mengajak seluruh peserta mata kuliah untuk melakukan perjalanan observasi dan wawancara di sebuah tempat yang
dikenal sebagai komunitas penghasil pelacur.
Jangan dibayangkan bahwa ketika
saya menyebut ”komunitas penghasil pelacur” akan muncul sebuah gambaran bahwa
tempat itu memiliki nuansa seperti rumah bordil yang banyak ditayangkan di media
televisi. Rumah bordil dalam persepsi saya selalu identik dengan wanita-wanita
pelacur yang berdandan menor, berpakaian seksi, suka tertawa cekikikan,
bersikap genit dan mengundang pada para pengunjung laki-laki. Bayangan seperti
itu sama sekali tidak ada di komunitas tersebut. Untuk memudahkan, maka saya
akan menyebut komunitas tersebut dengan menggunakan inisial komunitas K. Juga
jangan dibayangkan bahwa yang namanya ”komunitas penghasil pelacur” berarti
semua penduduk wanitanya adalah pelacur. Bukan, sama sekali berbeda. Ini
penting saya kemukakan, untuk membuat gambaran yang lebih pas tentang
”komunitas penghasil pelacur”.
Malam
pertama menginap di komunitas itu, dosen kami sengaja mengundang beberapa tokoh,
seperti 2 orang pelacur (mbak A dan mbak U), suami pelacur yang istrinya
bekerja sebagai pelacur (bang J), mantan kepala desa (Pak S), dan seorang suami
yang memiliki 3 ipar perempuan yang bekerja sebagai pelacur, sedangkan istrinya
sendiri tidak terjun sebagai seorang pelacur (pak M). Saya hanya berhasil
mewancarai 3 orang saja yakni mbak A, Pak S, dan Pak M, karena waktu yang
disediakan untuk wawancara terbatas.
Dari
ketiga narasumber ini saya akan memfokuskan wawancara pada perubahan makna
keluarga yang terjadi di komunitas K ini. Dalam budaya Indonesia khususnya, hubungan
seksual harus dilakukan di dalam sebuah
lembaga pernikahan. Jika sampai terjadi hubungan seksual di luar pernikahan,
maka hal tersebut menjadi hal yang tabu, terlarang, dan melangggar etika dan
norma agama. Akan tetapi, terdapat sebuah fenomena yang menarik yang terdapat
di K ini. Beberapa perempuan, baik yang masih bersuami atau janda memiliki
profesi sebagai pelacur. Para perempuan ini melakukan banyak hubungan seksual
dengan banyak pria lain selain daripada suaminya, dengan transaksi uang sebagai
bayarannya. Yang lebih menarik lagi, suami dan keluarga justru membolehkan
bahkan mendukung aksi pelacuran yang dilakukan oleh pelacur ini. Lantas seperti
apa makna keluarga yang dimiliki oleh pelacur beserta suami dan juga orangtua
mereka?
Dari
ketiga narasumber tadi saya menangkap kesan bahwa seorang pelacur dan pekerjaan
melacurnya adalah hal yang biasa bagi warga di komunitas tersebut. Seorang
pelacur tidak akan pernah dikucilkan, diejek atau di caci maki, atau bahkan
disingkirkan oleh keluarga dan para tetangga mereka. Pekerjaan melacur adalah
sama seperti pekerjaan lain sebagai salah satu alternatif mata pencaharian.
Pemandangan seorang suami mengantar istrinya pergi ke hotel tampat istrinya
melacur juga merupakan hal biasa. Keterangan ini saya peroleh dari wawancara
dengan mbak A. Jika mendapat ”panggilan” dari mucikari untuk melayani kliennya,
maka ketika berangkat ke hotel tempat ia bekerja, maka ia akan diantar oleh
suaminya. Jika pekerjaannya sudah selesai maka ia akan sms suaminya minta
dijemput. Masih menurut keterangan dari mbak A, jika malam ia pergi melacur,
maka di siang hari, ia tetap berperan
sebagai ibu rumah tangga biasa, memasak dan mengantar anaknya ke sekolah.
Tetangga juga tidak pernah ”rese” dengan perilakunya tersebut.
Fenomena
suami dan keluarga yang memperbolehkan istri dan anak perempuan mereka pergi
melacur adalah hal menarik untuk dikaji. Dengan mbak A, saya bertanya awal mula
ia menjadi seorang pelacur. Dari pengakuannya, ia memiliki sejumlah hutang
kepada seseorang (untuk biaya pergi ke Arab Saudi sebagai TKI, tapi ia kabur
dan kembali pulang ke Indonesia tanpa membawa hasil karena sang majikan
menyiksanya), dan si pemberi penjaman hutang ini menagih hutang tersebut untuk
segera dikembalikan. Karena sang suami hanya bekerja sebagai tukang ojek, maka
ia tidak bisa mengembalikan hutang tersebut dengan segera. Atas inisiatifnya
sendiri, maka ia pergi ke seorang mucikari dan meminta pekerjaan sebagai
seorang pelacur sebagai jalan tercepat untuk menyelesaikan persolan hutang
tersebut. ”Apakah suami mbak tidak marah
setelah mengetahui mbak melakukan hal tersebut?” tanya saya pada mbak A. ”Ya awalnya marah-marah, tapi selanjutnya
enggak”. Perlu diketahui, mbak A ini
sudah melacur kurang lebih selama 4 tahun, sejak anaknya umur 6 bulan hingga
kini sang anak sudah berumur 4 tahunan. ”Sudah
memperoleh apa saja dari hasil melacur ini”?, tanya saya pada mbak A. ” Ya banyak mbak, dari dulunya rumah
”gedhek” sekarang sudah ”gedong”, punya hape, punya motor, punya sapi”.
Saya kembali mengajukan tanya pada mbak A, ”lantas
mau sampai berapa lama melakukan pekerjaan ini?”, mbak A menjawab: ”Ya, saya ga tahu, saya masih punya banyak
cita-cita, saya mesti menyekolahkan anak saya sampai tinggi, saya ingin
mengumpulkan modal untuk membuka usaha sendiri, ya daganglah-punya toko yang
agak gedhe”.
Dari
petikan beberapa wawancara di atas, seperti terkesan bahwa motif ekonomilah
yang menjadi causa seseorang menjadi seorang pelacur. Lantas mengapa suami dan
orangtua mengijinkan istri dan anak perempuannya melakukan pekerjaan tersebut?
Kegiatan melacur seperti yang dilakukan oleh mbak A ini bukan merupakan suatu tujuan
akhir, tetapi merupakan suatu alat atau batu loncatan untuk memperoleh tujuan
selanjutnya. Jika merupakan sebuah tujuan akhir, maka seharusnya ketika hutang
yang melilit mbak A sudah terlunasi, maka mbak A akan berhenti menjadi seorang
pelacur. Nyatanya tidak begitu kan?, Ia bahkan sudah bertahun-tahun menjalani
pekarjaannya ini. Pekerjaan melacur digunakan sebagai suatu alat atau sebuah batu
loncatan untuk menggapai tujuan kedua dilihat dari pernyataan mbak A, bahwa ia
memperoleh banyak keuntungan materi dari hasil melacurnya ini, dan masih
memiliki keinginan-keinginan lain yang diharapkan tercapai dengan jalan melacur
ini. Suami atau keluarga yang membolehkan bahkan mendukung pekerjaan mbak A,
mungkin saja di dasari alasan bahwa mereka juga memperoleh keuntungan dari
pekerjaan melacur dari istri dan anak mereka. Yang pertama, kemungkinan ongkos
kehidupan sehari-hari dari suami dan orangtua di penuhi istri dan anak
perempuan mereka yang bekerja sebagai pelacur. Yang kedua, biasanya mereka
menjadi memiliki barang-barang materi yang mewah, seperti rumah bagus, hape,
motor dan sebagainya. Barang-barang mewah ini menjadi simbol status sosial
ekonomi. Dengan kepemilikan barang-barang mewah ini tentu saja secara otomatis
akan meningkatkan status sosial ekonomi keluarga tersebut di lingkungan
komunitas tersebut. Kepemilikan barang-barang ini juga menunjukkan sebuah
prestisius bagi keluarga tersebut di lingkungan sekitarnya. Hal lain yang
mungkin diperoleh adalah penghargaan dan penghormatan dari warga lain ketika sebuah
keluarga memiliki kekayaan materi dibandingkan jika keluarga tersebut tergolong
miskin. Suami atau orangtua juga tidak keberatan dengan pekerjaan istri dan
anak mereka sebagai pelacur karena mungkin mereka tidak memiliki daya atau
otoritas untuk memenuhi aspirasi material yang mereka inginkan. Pekerjaan
sebagai tukang ojek atau mungkin petani, akan agak sulit atau memerlukan waktu
lama untuk dapat memenuhi berbagai aspirasi material tersebut.
Hal
lain yang juga menguatkan alasan mengapa suami dan orangtua tidak melarang
istri dan anak perempuan mereka pergi melacur, bahkan mendukung pekerjaan
tersebut adalah karena tidak adanya sangsi sosial yang diberikan pada seorang
warga yang bekerja sebagai seorang pelacur. Seperti telah saya singgung di
atas, pelacur dan pelacuran sudah dianggap hal biasa di komunitas tersebut.
Mereka memandang melacur itu sama seperti pekerjaan yang lain. Dari pak M saya
bertanya mengapa warga desa lain menganggap itu sebagai hal biasa dan tidak
menegur pelaku dari pelacuran tersebut. ”
Kalau saya menegur, mbak, atau melarang pekerjaan tersebut mbak, saya juga
tidak tahu bagaimana saya akan mengentaskan mereka dari pelacuran, saya juga
tidak punya solusi bagaimana menolong mereka memenuhi kebutuhan sehari-sehari
mereka, saya tidak punya alternatif pekerjaan yang dapat saya berikan selain
agar seseorang berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang pelacur”. Dari Pak M, saya mendapatkan jawaban
bahwa pelacuran tersebut dianggap biasa karena
sebenarnya wilayah komunitas tersebut juga memperoleh keuntungan dari seorang
pelacur yang sudah berhasil atau sukses dengan pekerjaannya. Banyak pembangunan-pembangunan
fasilitas di komunitas tersebut yang didukung dan dibiayai oleh pelacur. Hal
ini tentu saja berdampak pada kemajuan wilayah komunitas tersebut. Dari
observasi yang saya dan teman-teman lakukan, banyak masjid-masjid indah dan
megah di bangun di wilayah komunitas tersebut. Dan menurut informan, banyak
dari masjid-masjid tersebut di bangun oleh para pelacur yang sudah dianggap
sukses. Pelacuran di komunitas tersebut telah menjadi bagian dari sebuah sistem
perekonomian bagi wilayah komunitas tersebut. Jadi tidak akan pernah ada
penggrebekan dan sebagainya terhadap praktek pelacuran yang terjadi.
Kemudian,
jika memang begitu keadaannya, apa makna keluarga di komunitas itu?.
Fenomena pelacuran di komunitas tersebut bisa dipandang sebagai sebuah bentuk dari sikap yang tidak
menghargai lagi bentuk kesakralan sebuah lembaga pernikahan. Jika seorang suami
membiarkan istrinya melakukan hubungan seksual dengan banyak lelaki lain selain
dirinya, maka tujuan pernikahan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang
Pernikahan tidak berlaku di wilayah komunitas tersebut. Wanita atau istri dalam
sebuah keluarga juga merupakan pelaku dan pendukung perekonomian sebuah
keluarga. Seorang istri atau anak perempuan yang cantik memiliki nilai ekonomis
yang tinggi bagi sebuah keluarga. Hal ini terjadi di subuah komunitas dimana
orangtua atau suami memiliki karakteristik sifat-sifat seperti adanya
ketidakmampuan dalam menyesuaikan orientasi material mereka, hidup dalam
kemiskinan, malas berusaha, berpendidikan rendah, dan mengadopsi
pemikiran-pemikiran fatalis. Karakteristik sifat ini menuntun mereka kepada
keyakinan bahwa pelacuran adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kualitas
hidup yang lebih baik.
Tulisan ini ditopang oleh buku "on the spot, tutur dari sarang pelacur"
(Koentjoro, 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar